Menanam Sakura di Kebun Kita

TEMPO Interaktif, Jakarta:

Di sebuah lembah, sungai kecil membelah sebuah jalan beraspal lalu jatuh di sebuah jeram, persis di sisi lain jalan itu. Air di jeram yang tak sampai dua meter tingginya, beriak-riak di sela-sela bebatuan.

Dari dasar jeram, sungai itu mengular kembali, membelah sebuah lahan berumput. Angin yang bertiup, terasa sejuk menggigit kulit. Maklum, kawasan itu berada di area Kebun Raya Cibodas, Cianjur, Jawa Barat, di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.

Lembah itu adalah cikal bakal sebuah taman bunga sakura. Bentuknya masih seperti sketsa. Sketsa itu akan sempurna menjadi taman di tangan sekumpulan orang yang tampak sibuk mencangkul atau menyusun bongkahan batu dan rumput teki.

“Baru 20 hari lagi selesai,” kata Zainudin, perancang taman, yang bekerja sebagai pegawai di Kebun Raya tersebut.

Tapi taman itu telah ditumbuhi ratusan pohon sakura. Ada yang berdaun rimbun kehijauan. Adapula yang kering kerontang, merana tak berdaun.

Oleh sebab itu, untuk sementara lupakan dulu bayangan pepohonan sakura dengan romantikanya: dedaunan kecoklatan yang berguguran di permukaan tanah dan kembang warna-warni seperti kertas yang meraya di cabang-cabang pohon. Keindahan yang dirayakan dalam festival Hanami di Jepang.

Lansekap taman itu sakura tak terlalu istimewa. Bentuknya masih mengikuti bentangan alam dan kontur tanah yang ada. Sebagai penunjang tumbuhnya tanaman di sana, taman dibentuk berundak-undak.

Sakura ditanami dengan jarak antara 5 sampai 6 meter. Di beberapa pohon tergantung kertas kecil berisi orang yang menanamnya. Mulai dari pejabat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, sampai wartawan Tempo.

Agar kian semarak, di taman itu juga ditanam tetumbuhan lain. Salah satuya adalah Medinila Sp., tanaman berbunga yang di Jawa Barat dikenal dengan pohon harendong. “Ini tanaman asli Jawa Barat,” kata Zainudin, tentang tanaman yang berbunga seperti untaian buah anggur itu.

Aliran sungai akan menjadi aksen tersendiri pada taman. Rencananya, kata Zainudin, sungai kecil itu akan disulap menjadi area bermain. “Setiap akhir pekan memang banyak anak kecil yang bermain di sana,” ucapnya.

Sebuah jembatan beton telah dibangun menghubungkan dua tepian sungai. Dua batang pohon paku-pakuan ditanam di tengah sungai, di sebuah pulau-pulauan.

Sebagai pemanis, di tepi sungai akan dibangun beberapa gazebo berciri rumah Jawa. Mengapa bukan bangunan ala Jepang? “Kami tidak ingin meniru dan di sini bukan Jepang,” kata Holif Immamudin, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas.

Taman itu membentang di areal seluas 17.500 meter persegi. Pada akhirnya, taman sakura akan mencapai luas 2 hektar, menyempil di kawasan kebun raya seluas 125 hektar di lereng Gunung Gede-Pangrango itu.

Bila selesai, taman itu akan ditumbuhi 400 batang pohon sakura dari selusin spesies sakura yang tumbuh di kebun raya. Mulai dari spesies sakura asli dari Jepang, sampai asli Indonesia, yakni Prunus costata yang berasal dari Papua.

Sakura memang bukanlah barang baru di kebun itu. Bunga itu sudah tumbuh sejak setengah abad lalu. Namun baru kali ini pengelola kebun membangun sebuah taman tematik dengan cara mengumpulkan semua koleksi lama dan koleksi baru di lembah berjeram tadi.

Holif berharap, taman sakura ini memancing minat pengunjung untuk berekrasi sekaligus belajar. “Jadi untuk menyaksikan mekarnya sakura tak perlu jauh-jauh ke Jepang,” katanya.

Sakura Indonesia malah menawarkan keuntungan lain, siklus mekarnya dua kali setahun. Di Jepang dan Amerika Serikat-dimana sebuah taman sakura juga dibangun di kota Washington dan ramai dikunjungi turis-sakura hanya mekar sekali setahun.

Di sisi lain, tumbuhnya sakura di Indonesia akan menjadi objek penelitian para ahli biologi. Holif mengatakan selain mencari kemungkinan manfaat lain tumbuhan itu, juga kemungkinan merekayasa dan menghasilkan jenis yang lebih adaptif pada kondisi iklim negeri ini.

Ngomong-ngomong soal iklim, para peneliti di Cibodas rupanya menemukan tren perubahan masa mekar sakura. Perubahan iklim global membuat masa mekarnya maju setiap tahun. Tahun ini bunga itu telah mekar pada bulan Februari.

Padahal, sebelum tahun 2001, sakura itu mekar pada bulan April dan Agustus. Masa mekar kedua masih belum dipastikan. “Tapi kemungkinan besar juga akan maju,” kata Anggun Ratna Gumilang, koordinator peneliti di Kebun Raya Cibodas.

Kesanggupan sakura mekar sampai dua kali, menurut Anggun, lantaran musim di Indonesia hanya dua macam: musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan yang sejuk pun temperaturnya tak teratur. Anggun menduga, fluktuasi temperatur inilah yang membuat bunga sakura bisa berbunga lebih dari sekali.

Tapi sakura di kebun kita rupanya tak akan sesemarak dan seramai di negeri asalnya. Menurut Anggun, temperatur yang tak setara dengan negeri empat musim itulah penyebabnya. “Dinginnya tak maksimal,” kata dia.

0 komentar: